Di balik hiruk-pikuk dunia modern—dengan segala tuntutan pekerjaan, target yang terus berkejaran, dan impian hidup yang kadang terasa tak ada ujungnya—ada satu pertanyaan mendasar yang jarang kita jawab dengan jujur: apa sebenarnya makna kebahagiaan?
Sebagian orang menyamakan bahagia dengan gaji besar. Ada yang mencari dalam bentuk penghargaan, liburan, atau bahkan validasi dari sosial media. Namun, apakah itu benar-benar membuat jiwa tenang?
Dalam kitab klasik al-Wabil ash-Shoyib, ulama besar Imam Ibnul Qayyim rahimahullah memberikan jawaban yang sangat dalam namun tetap sederhana:
"Kebahagiaan akan terwujud dengan tiga perkara:
Mensyukuri nikmat, sabar dalam menghadapi ujian, dan taubat dari dosa."
Mari kita renungi satu per satu.
1️⃣ Mensyukuri Nikmat
Sering kali, kita terlalu fokus pada apa yang belum kita capai, sampai lupa dengan apa yang sudah kita miliki.
Laptop yang berfungsi baik, rekan kerja yang suportif, gaji yang cukup, bahkan napas dan waktu luang—semua itu nikmat besar.
Syukur bukan hanya soal mengucap “alhamdulillah”, tapi menyadari nikmat, menjaganya, dan menggunakannya untuk kebaikan.
“Jika kalian bersyukur, niscaya Aku akan menambah nikmat-Ku.”
— (QS. Ibrahim: 7)
Dalam dunia kerja, rasa syukur membuat kita lebih tenang dan tidak terombang-ambing oleh ambisi dunia.
Kita bekerja dengan ikhlas, bukan hanya karena kejaran target, tapi karena sadar bahwa bisa bekerja pun adalah nikmat.
2️⃣ Sabar dalam Menghadapi Ujian
Setiap orang pasti diuji. Bedanya hanya pada bentuk dan waktunya.
Ada yang diuji dengan tekanan kerja, konflik tim, sakit, kegagalan proyek, bahkan rasa tidak dihargai.
Sabar bukan berarti pasrah, tapi menerima dengan lapang, tetap berbuat baik, dan tidak menyalahkan takdir.
Rasulullah ﷺ bersabda:
“Sungguh menakjubkan urusan seorang mukmin, semua urusannya baik. Jika ia mendapat nikmat, ia bersyukur; dan jika tertimpa musibah, ia bersabar.”
— (HR. Muslim)
Bagi para profesional, sabar berarti tetap bertahan dan menjaga akhlak meski dalam tekanan.
Sabar berarti tidak membalas dengan emosi, tidak menyerah ketika hasil belum sesuai harapan, dan terus memperbaiki diri.
3️⃣ Taubat dari Dosa
Yang sering dilupakan: bisa jadi penyebab kegelisahan hati bukan dari luar, tapi dari dalam—dosa yang belum disadari.
Dosa itu ibarat debu yang menutupi kaca hati. Semakin tebal, semakin gelap, semakin sulit melihat cahaya.
Taubat bukan hanya untuk pelaku dosa besar. Setiap hari kita bisa tergelincir—dalam niat, ucapan, atau tindakan yang tidak ikhlas. Maka taubat adalah penyegar hati. Ia menjadikan hati ringan dan hidup kembali.
“Wahai hamba-Ku yang melampaui batas terhadap dirinya sendiri, jangan berputus asa dari rahmat Allah...”
— (QS. Az-Zumar: 53)
Dalam kerja, taubat bisa berarti memperbaiki niat. Menghapus kelalaian. Memperbaiki hubungan. Berhenti dari kelicikan. Kembali ke jalan lurus.
Sebagai Penutup: Kebahagiaan Bukan Dicari, Tapi Ditegakkan
Imam Ibnul Qayyim rahimahullah tidak menyebut kebahagiaan berasal dari dunia, jabatan, atau status. Tapi dari kondisi hati yang:
-
Penuh syukur atas nikmat,
-
Tangguh dalam kesulitan, dan
-
Jujur dalam kembali pada Allah.
Itulah tiga pilar bahagia.
Sederhana di lisan, tapi mulia jika diamalkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar